Tuesday, April 29, 2025

Achieving The Tranquility of Our Heart - [2] Developing Our Relationship with Allah


In November  2023, I was watching a news report on Israel’s devastating attack on the small Gaza Strip.. As I saw the images of severed bodies and heard the cries for help, the frustration and helplessness I felt were overwhelming. So I decided to pray while reciting from the mus’haf ( of the Qur’an, which is the word of God). As I was reading, I arrived at the verse:

أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُوا۟ ٱلْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُم مَّثَلُ ٱلَّذِينَ خَلَوْا۟ مِن قَبْلِكُم ۖ مَّسَّتْهُمُ ٱلْبَأْسَآءُ وَٱلضَّرَّآءُ وَزُلْزِلُوا۟ حَتَّىٰ يَقُولَ ٱلرَّسُولُ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مَعَهُۥ مَتَىٰ نَصْرُ ٱللَّهِ ۗ أَلَآ إِنَّ نَصْرَ ٱللَّهِ قَرِيبٌۭ ٢١٤

“Or do you think that you will enter Paradise while such [trial] has not yet come to you as came to those who passed on before you? They were touched by poverty and hardship and were shaken until [even their] messenger and those who believed with him said, ‘When is the help of Allah?’ Unquestionably, the help of Allah is near.” 

[Surah Al Baqarah, :214]


And that was the answer. As human beings, we will be tested. But this doesn’t mean that we are going to live our lives in perpetual hardship, because ‘unquestionably, the help of Allah is near.’ So what does it mean when we are going through hardship? Is Allah subhanahu wa ta`ala (exalted is He) angry with us? What if there is no way out?

Whenever we go through hardship, there are things we need to know with certainty. Allah (swt) tells us in the Qur’an:

لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍۢ مِّن سَعَتِهِۦ ۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُۥ فَلْيُنفِقْ مِمَّآ ءَاتَىٰهُ ٱللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَآ ءَاتَىٰهَا ۚ سَيَجْعَلُ ٱللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍۢ يُسْرًۭا ٧

Let the man of wealth provide according to his means. As for the one with limited resources, let him provide according to whatever Allah has given him. Allah does not require of any soul beyond what He has given it. After hardship, Allah will bring about ease.

 Dr. Mustafa Khattab, The Clear Quran” 

[Surah At Talaq, 65:7]


Certain hardships are so consuming that we cannot focus on anything but the difficulty. But we have to remember that if we were to enumerate the blessings of Allah (swt), we would not be able to count them. Reminding ourselves of the other blessings in our lives helps us to see the test within the context of the grand scheme of things. Just the fact that you can make sajda (prostration), and call out, “O Allah!” is a blessing that surpasses all others.

But why?

There is a purpose behind the trial, and this purpose corresponds to our internal state and our relationship with Allah (swt). Allah (swt) has 99 Beautiful Names, and it should suffice us to know that He is the Most Merciful, the Most Just and the Most Wise. Your test is not being put upon you by a random being, but by the Almighty Allah, who is closer to us than our jugular vein.

Tests are a way to purify us. The Prophet ﷺ said, “No fatigue, nor disease, nor sorrow, nor sadness, nor hurt, nor distress befalls a Muslim, even if it were the prick he receives from a thorn, but that Allah expiates some of his sins for that,”  [Bukhari]. 

Our ultimate aim is to earn Allah’s pleasure and Jannah (paradise), and all of us fall short in truly worshiping Allah (swt) as He should be worshiped. Many of us fail to ask for forgiveness regularly, or to reflect on our state and return to Allah (swt). These tests, as burdensome as they are, ease our burden on the Day of Judgment, if we respond with patience.

Trials also have a way of reminding us of our purpose. If we are far from Allah (swt), the test is usually to bring us close to Him. Whatever heedlessness we are engaging in, the test should make us realize we have no one, no one at all, but Him.

Sheikh Ratib an-Nabulsi related a story about a man in Syria. This man would always mock Islam. He thought people who ‘wasted their time’ praying were silly. No matter how much da’wah (calling, used to refer to inviting people to learn about Islam) the sheikh gave him, the man remained in this state. He then had a daughter, and this daughter became very sick. He went to so many doctors, even traveling abroad to Europe, but no one could help him. After that, he started praying and turning to Allah (swt). Years later, his daughter was better and healthy. Both his dunya (this life) and akhira (the next life) were saved.

If we are close to Allah (swt), it is to test our resilience. Are we only close to Allah (swt) in times of ease, or does our trust extend to the times of hardship? When we are tested, do we leave the good deeds that we used to do? Allah (swt) describes such people in the following verse:

وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَعْبُدُ ٱللَّهَ عَلَىٰ حَرْفٍۢ ۖ فَإِنْ أَصَابَهُۥ خَيْرٌ ٱطْمَأَنَّ بِهِۦ ۖ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ ٱنقَلَبَ عَلَىٰ وَجْهِهِۦ خَسِرَ ٱلدُّنْيَا وَٱلْـَٔاخِرَةَ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْخُسْرَانُ ٱلْمُبِينُ ١١

And there are some who worship Allah on the verge ˹of faith˺: if they are blessed with something good, they are content with it; but if they are afflicted with a trial, they relapse ˹into disbelief˺,1 losing this world and the Hereafter. That is ˹ ˹truly˺ the clearest loss.

— Dr. Mustafa Khattab, The Clear Quran

(Surah Al Hajj, 22:11]

This may seem counter-intuitive, but tests are also out of Allah’s love. The Prophet ﷺ said, “When Allah loves a servant, He tests him,” [Tirmidhi]. 

In a hadith qudsi (a hadith relating the words of Allah [swt]), Allah (swt) tells Jibreel to delay the response to the du`a’ of a servant because Allah (swt) loves hearing his voice [Tabarani]. Sometimes the answer to a test is that need for Allah (swt), those long hours spent in the night, and the tears of sincerity.

May Allah (swt) make us of those who constantly turn to Him, in hardship and ease.

Sunday, April 27, 2025

Menggapai Ketenangan Hati - [1] Tanda Naik dan Turunnya Iman Seorang Hamba.



Kadang-kadang ia terasa seperti terlalu kerap - turun naik  iman kita, dosa yang berulang, perasaan bahawa "saya tidak layak mendapat rahmat Allah." Ujian sentiasa terasa seperti hukuman. Terdapat kebimbangan yang berterusan tentang masa depan: perkahwinan saya, wang saya, kerjaya saya, ummah saya (masyarakat)... Dan beberapa kesukaran terasa seperti terlalu hebat untuk diatasi. Kami tahu kami tidak sepatutnya bertanya ini, tetapi soalan di belakang fikiran kami ialah, "Mengapa saya?"

Kita semua telah mendengar bahawa kita tidak boleh berputus asa dari Rahmat Allah. Dan pada zahirnya, kami cuba untuk tidak melakukannya, tetapi Syaitan (Syaitan) mempunyai tipu daya. Kita cenderung untuk berputus asa terhadap diri sendiri dan ketidakupayaan kita untuk mengubah sesuatu, terutamanya pergolakan dalaman yang kita rasai. Dan kesannya pada dasarnya sama dengan berputus asa dari rahmat Allah. Kita tidak selalu menerima bahawa Allah boleh mengeluarkan kita dari situasi yang kita hadapi dan kita tidak perlu 'layak' menghadapi masalah; Allah tidak menghukum kita dan kita tidak perlu menjadi sempurna.

Walau bagaimanapun, ini tidak bermakna bahawa kita tidak harus berusaha, atau mengambil kira diri kita apabila kita melakukan kekacauan. Kuncinya ialah membina hubungan kita dengan Allah semasa kesusahan itu. Jika kita mengenal Allah, tiada keadaan yang bernama putus asa. Tiada kesedihan yang kekal. Kita melihat ujian sebagaimana yang sepatutnya dilihat – sebagai ujian kepercayaan kita kepada Allah, memaksa kita untuk mengamalkan ilmu kita dan mendekatkan kita kepada-Nya. Ujian ini juga berpotensi menjadi hukuman, iaitu jika kita membiarkannya memberi kesan negatif kepada kita dengan benar-benar berpaling daripada-Nya kerana kesedihan kita. Tetapi kesedaran kita tentang keadaan kita sendiri dan pemahaman kita tentang Rahmat Allah membolehkan kita mengubah hukuman menjadi sesuatu yang positif yang dizahirkan melalui taubat kepada Allah, di samping meningkatkan hasanah (perbuatan baik) untuk menghapuskan perbuatan buruk.

Latihan pertama adalah untuk kita sedar secara sedar bahawa Allah Maha Mengetahui. Walau apa pun kesedihan yang kita lalui, apa jua kesusahan yang kita tempuhi, kita harus faham bahawa kita tidak pernah keseorangan. Walaupun kita merasa ditinggalkan oleh dunia dan orang-orang terdekat kita, Allah ada. Dia mengingatkan kita dalam al-Quran,


قَالَ لَا تَخَافَآ ۖ إِنَّنِى مَعَكُمَآ أَسْمَعُ وَأَرَىٰ ٤٦

"Jangan takut, sesungguhnya Aku bersama kamu berdua, Aku mendengar dan melihat."

(Surah Taha: Ayat 46)


Selagi kita bermula dengan menyedari bahawa Allah bersama kita dan Dia dekat dengan kita, masih ada penyelesaian untuk kebimbangan dalaman kita. Terdapat beberapa perkara yang perlu kita ketahui untuk mengembangkan hubungan kita dengan Allah. Kemudian ada perkara yang perlu kita lakukan untuk menjaga kedekatan itu dengan Allah. Dan akhirnya, ada perkara yang perlu kita cita-citakan untuk mencapai hubungan yang ideal dengan Tuhan kita. Kami berdoa agar pada penghujung siri ini, kita semua akan membina hubungan yang lebih kukuh dengan Allah.

Nota: sesetengah daripada kita mengalami kemurungan klinikal atau keadaan perubatan yang serupa, dan ini perlu ditangani oleh seorang profesional. Mengusahakan hubungan kita dengan Allah tidak syak lagi membantu, tetapi kadangkala lebih daripada pembaikan rohani mungkin diperlukan.




Tulisan- Jinan Yousef

Thursday, April 24, 2025

Tasyabuh dengan Orang Kafir Menjadi Penghalang Istiqamah

 

Ringkasan Kajian: Tasyabuh dengan Orang Kafir Menjadi Penghalang Istiqamah

Salah satu penghalang istiqamah bagi seseorang adalah kerana sikap tasyabuh dengan orang kafir. Yaitu menyerupai sikap ataupun perilaku orang-orang kafir.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan kita akan sikap tasyabuh ini dalam sabdanya:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut.”

Maka dari itu siapa saja dari kaum muslimin yang mencontoh dan meniru gaya dan perilaku orang di luar Islam, maka dia termasuk ke dalam bagian mereka. Di dalam hadits ini dengan jelas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang sikap tasyabbuh.

Sikap tasyabbuh ini akan merusak ilmu dan merusak amal seseorang.

Perhatikanlah ayat yang mulia berikut ini, Allah Ta’ala berfirman:

اهدِنَــــا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ، صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ

“Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” 

(Surah Al-Fatihah [1]: Ayat 6-7)


Kerusakan orang-orang Yahudi adalah dari sisi amal mereka. Sedangkan rusaknya orang-orang Nashrani adalah dari segi ilmunya. Orang-orang Yahudi telah mengetahui ilmunya, namun mereka tidak mengamalkannya. Sedangkan orang-orang Nashrani mengamalkan suatu amalan tanpa didasari ilmunya. Dan kedua-duanya telah tersesat dan dimurkai oleh Allah.

Maka dari itu setiap orang muslim dilarang meniru dan menyerupai perilaku orang-orang Yahudi dan Nashrani.

Simak penjelasan selengkapnya pembahasan mengenai tasyabuh ini di dalam rekaman kajian yang disampaikan oleh Ustadz Arman Amri, Lc. berikut ini. Semoga bermanfaat.



Mengapai Ketenangan Jiwa - [16] - Allah bersama orang-orang yang Sabar

  ۞ إِذْ تُصْعِدُونَ وَلَا تَلْوُۥنَ عَلَىٰٓ أَحَدٍۢ وَٱلرَّسُولُ يَدْعُوكُمْ فِىٓ أُخْرَىٰكُمْ فَأَثَـٰبَكُمْ غَمًّۢا بِغَمٍّۢ لِّكَيْلَا ت...